cuma mau ngeshare cerpen buatan ane nih gan, berminggu-minggu ngerjain cerpen ini buat tugas bahasa indonesia, maaf ya kalo jelek, kalo bisa sih judulnya diganti aja gan, kurang greget hehe
Harga Diri Di Atas Gorengan
P
|
agi hari terlihat sibuk dengan suara
wanita setengah baya yang sedang memukul-mukul bambu sambil menawarkan apa yang
dijualnya kepada anak-anak sekolah dasar yang menunggu bel masuk sekolah.
Senyuman selalu ia lontarkan ketika menerima setiap lembaran uang hasil kerja
kerasnya. Seketika senyumnya membesar melihat gadis kecil yang membawa sebuah
tas lusuh dan muka yang muram. Wanita itu kemudian menyapa gadis kecil tadi
yang merupakan anak semata wayangnya yang dia nafkahi tanpa seorang ayah. Gadis
bernama Lina itu menoleh ke arah
temannya seakan tidak mendengar sapaan dari sang ibu. Dengan penuh keraguan
sang ibu menurunkan tangannya dan hanya bisa memperhatikan Lina dari jauh.
Anak-anak
sekolah dasar tidak terlihat lagi ketika bel tanda masuk kelas selesai
berbunyi. Tak terlihat siapapun di halaman sekolah, hanya satpam dan pemotong
rumput. Dan juga terlihat wanita tadi, yaitu Wati . Wati adalah wanita setengah
baya si penjual gorengan sekaligus wanita yang mengeluarkan Lina dari perutnya
dan dirawatnya sejak kecil. Ia masih terlihat sibuk untuk mempersiapkan
dagangannya, terlihat sangat seru dan menyenangkan baginya. Yang ada di
pikirannya hanyalah Lina, dan dia masih terherankan oleh kejadian tadi. Memang
belakangan ini Lina selalu cuek dan jutek terhadap ibu kandungnya sendiri, “Apa
mungkin karena bau badanku?” pikir Wati sambil menciumi badannya dari atas
sampai bawah.
Jam
sekolah yang terletak di atas menara sekolah dengan gaya renaisans kuno itu
mengeluarkan bunyi yang klasik, menandakan jam istirahat bagi para anggota
sekolah. Anak-anak sekolah dasar berlari keluar kelas dengan wajah tanpa beban.
Mereka mulai mempergunakan waktu istirahatnya itu untuk bermain, belajar,
mengobrol juga makan siang. Jam istirahat memang seperti kasur untuk melepaskan
rasa stress dan lelah, dan digunakan dengan keceriaan dan kebahagiaan. Tetapi
tidak bagi Lina, ia termenung sendiri, mungkin hanya ditemani pohon besar yang
meneduhinya. Terlihat murung dan lelah, seperti orang yang sudah bosan dengan
hidup ini, atau mungkin kehidupan yang sudah bosan dengan cerita yang dialami
Lina? Ah sudahlah. Teman-teman Lina hanya lewat dan mengacuhkannya, membuat
Lina bertambah murung. Adapun salah satu dari teman Lina yang datang
menghampiri, temannya itu memang anak dari Pengusaha pabrik panci terkenal, ia
bernama Cici. Lina mengangkat kepala dan seperti akan tersenyum. Tetapi teman
Lina itu malah berkata, “Eh anak gorengan, ngapain disana? Ga punya temen ya?
Temenan sama gorengan sana huahaha”. Lina tentu sangat kesal dan membalas,
“Perlu kamu tau ya tukang gorengan itu bukan ibuku! Amit-amit deh punya ibu bau
bakwan gitu”, “Alaaah bohong aja kamu, jelas-jelas kamu tuh yang bau bakwan
huahaha” balas teman Lina dengan tertawa mengejek dan langsung pergi.
Di
lain tempat, Wati sedang dikerubungi anak sekolah yang ingin menukar uang
dengan gorengannya. Hanya perlu seribu rupiah untuk mendapatkan dua buah
gorengan yang terkenal karena rasanya itu. Wati melayani para customer-nya selalu dengan penuh
senyuman. Lina yang sudah berhenti menangis melihat senyuman Ibunya dari jauh,
dengan ekspresi risih yang tidak enak dilihat. Untung saja Wati tidak menoleh
ke anaknya itu, karena mungkin dia akan sakit hati melihat ekspresi anak
terhadap ibunya seperti itu. Lina sangat kesal karena merasa dipermalukan oleh
Ibunya. Dia tiba-tiba mengambil batu kerikil dan langsung dilemparkan ke arah
ibunya. Seperti anak kecil kebanyakan, apa yang dilakukan terkadang tidak
jelas, ia langsung berlari setelah kerikil itu hampir mengenai ibunya. Wati
menoleh dan melihat anaknya berlari.
Indonesia
bagian tengah telah menunjukan pukul 12 siang, warga SDN 4 Samarinda harus
kembali ke rumahnya. Para murid berlari keluar kelas, hanya Lina yang berjalan
pelan. Wati menunggu sembari membereskan dagangannya usai berjualan. Lina
berjalan menghampiri Wati dengan tatapan risih dan berkata, “Cepet Bu, lama
amat ngurusin gitu doang.” Ibunya hanya bisa membalas dengan ceria, “Iya,
sebentar nak, habis laku keras nih,” “Laku keras mempermalukan Lina ya Bu?”
kata Lina menggerutu. “Kok ngomongnya gitu sih nak? Ini kan pekerjaan Ibu, demi
kehidupan kita Lin,” kata Wati heran. “Suka-suka Lina, mulut-mulut Lina, udah
ah cepetan Bu”, balas Lina dengan sangat risih ke Ibunya. Wati mengelus dada
dan menahan kesabarannya. Dia tau kalau anaknya sangat malu mempunyai Ibu
tukang gorengan seperti dirinya. Seorang Ibu tetap harus memberi kasih sayang
terhadap anaknya walaupun anaknya menerima atau menolak kasih sayang itu.
Mereka
berdua berjalan kaki menuju rumah yang memiliki jarak 120 langkah dari sekolah.
Sang Ibu terlihat sangat repot membawa barang dagangannya yang cukup berat,
sedangkan anaknya hanya berdiam seakan tak peduli. Ketidakpedulian Lina terus
berlanjut sampai akhirnya mereka sampai pada rumah gubuk di kolong jembatan,
terlihat sampah-sampah menghiasi halaman rumah mereka. Dengan santai Lina
melempar tasnya dan menjatuhkan diri di kasur kapuk yang kaku. Ibunya menata barang
daganganya untuk dibawa esok hari. Sambil menata, Wati memecahkan keheningan
dengan bertanya, “Bagaimana di sekolah? Kok sendirian mulu, bergaul dong sama
teman-temannya”. Lina terdiam, kekesalannya telah kembali dan langsung mencela,
“Ini tuh semua gara-gara Ibu, kalau saja Ibu tuh kerjanya jadi Direktur atau
Manager kan enak, ga miskin gini, dan pasti temen Lina banyak kaya Cici, Ibu
tuh cuma malu-maluin Lina doang!”. “Astaga nak, kamu ngga boleh kaya gitu, ini
tuh satu-satunya cara agar kita bisa bertahan hidup nak, Ibu janji akan
berusaha bikin kamu sukses biar ga kaya Ibu gini nak, kalo engga jualan ini
kita mau makan apa?” balas Wati dengan setengah sedih. Mereka terdiam sejenak
dan Lina berteriak, “Alaah! Ibu tuh cuma ngomong doang! Ibu sengaja kan bikin
Lina malu biar ga punya temen, pokoknya Lina gamau Ibu jadi Ibu Lina, mendingan
Lina pergi aja!”. Wati terdiam sedih sekaligus kaget mendengar itu, kasih
sayang yang diberikan kepada anak semata wayangnya dibalas dengan kebencian. Lina
mengambil tasnya dan langsung berlari keluar rumah menuju jalan raya. Wati
kaget dan langsung mengejarnya, dia hanya bisa memanggil nama anaknya,
“Lina...! Lina, maafkan ibu nak...!”. Lina terus berlari melintasi jalan raya
yang sepi, tiba-tiba sebuah motor besar berwarna hitam melaju kencang
menghampiri Lina, Lina terserempet motor itu dengan sangat kencang, dengan
tanpa kepedulian pengendara terus melaju pergi. Darah bercucuran deras, Wati
yang menjadi saksi langsung kejadian itu menangis keras, dia panik meminta
tolong berharap ada orang yang akan membantunya.
Beruntunglah ada seorang
pria berlari menghampiri, Wati memintanya untuk memanggil ambulan, pria itu
mengambil handphone-nya dan buru
menelpon ambulan. Lina sudah sangat kritis sampai akhirnya ambulan datang
membawanya, Wati terus berkata pada sopir ambulan, “Cepat pak, tolong anak saya
pak....!”. Mereka tiba di rumah sakit dan Lina langsung dilarikan ke Unit Gawat
Darurat, ibunya hanya bisa menunggu dan panik. Setelah beberapa lama, sang
dokter keluar ruang UGD Lina dan langsung ditanyai oleh Wati, “Bagaimana
kondisi anak saya dok? Apa yang harus saya lakukan?”. “Maaf bu, anak ibu sangat
kekurangan darah, harus ada yang mendonorkan secepatnya, kalau tidak anak anda
tidak akan tertolong”, jawab Dokter dengan pasrah. “Ambil darah saya dok, ambil
semua darah saya yang dibutuhkan anak saya agar anak saya tetap hidup dok,”
kata Wati sambil manangis keras. Dokter hanya mengangguk dan harus tetap
melakukan tugasnya. Lina sangat banyak kekurangan darah, maka Wati harus mengalami
apa yang telah dialami Lina untuk mendonorkan darah pada anaknya itu. Setelah
saat-saat yang menegangkan berlalu, pihak rumah sakit berhasil mendonorkan
darah Wati kepada Lina. Lina kembali sehat, dia terbangun dan bertanya kepada
suster, “Dimana Ibuku? Apa yang telah terjadi?”. Suster hanya terdiam, melihat
itu Lina langsung mencari-cari ibunya dan sampai akhirnya dia tiba di sebuah
kamar. Ibunya terbaring di kasur, Lina langsung berlari mengahampiri dan
memanggil Ibunya, “Ibu... Ibu bangun dong, Kita dimana bu?”. Mata ibunya masih
tertutup, Lina bertanya kepada dokter di sebelahnya, “Ibu saya kenapa dok? Apa
yang sudah terjadi?”. Dokter menjawab, “Kamu mengalami kecelakaan parah nak,
lalu ibumu mendonorkan semua darahnya padamu, dan sekarang ibumu yang
kekurangan darah dan....”, “Dan apa dok?”, tanya Lina heran. “Ibumu telah
meninggalkan kita nak, dia rela berbuat itu agar kamu tetap hidup”, jawab
dokter dengan berat hati. “Ibu? Kenapa dok? Tolong ibu saya dok! Tolong ibu
saya!”, Lina menangis lebih keras daripada ibunya tadi, dia telah sadar betapa
besar kasih sayang Ibu kepada anaknya, Lina sangat menyesal dan hanya bisa
menangis.
Dia menjadi anak sebatang
kara, dia adalah korban dari kebencian. Lina berlari keluar rumah sakit sambil
menangis, dia hanya berjalan-jalan sepanjang trotoar menuju rumah gubuknya.
Tangisannya tidak berhenti, sampai akhirnya dia berpikir, dia menyadari ada
sesuatu yang harus dilakukannya, apa yang diinginkan ibunya adalah untuk
menjaga dia tetap hidup, maka Lina harus memanfaatkan hidupnya untuk sesuatu
yang berguna. Dia sampai ke rumah gubuknya dan menata dagangan ibunya, dia
bertekad untuk berjualan gorengan seperti ibunya. Dengan dorongan batin yang
luar biasa, dia tidak malu untuk berjualan gorengan. Keesokan harinya dia pergi
ke sekolah tanpa seragam dan tas, melainkan dagangan gorengan ibunya. Ejekan
yang datang kepadanya berubah menjadi semangat.
Tahun demi tahun berlalu,
Lina telah berusia genap 20 tahun, dan dia tetap berjualan gorengan. Sampai
akhirnya dia mempunyai modal untuk membuat usahanya itu semakin besar. Dia
membuat perusahaan besar untuk usaha gorengannya. Dengan ratusan cabang dan
jutaan karyawan yang tersebar di Indonesia. Milyaran gorengan dijual setiap
harinya, ratusan juta gorengan lainnya diekspor ke beberapa negara. Lina telah
sukses, dia yakin telah membanggakan ibunya. Kemudian Lina pergi ke makam
ibunya, dia duduk di sebelah kuburannya, dan berkata, “Aku telah berhasil bu,
ibu tetap tenang disana ya, aku sayang ibu”.